Rabu, 24 April 2013

Teori Hukum Murni Hans Kelsen (5) Hirarki Norma dan Proses Pembentukan Hukum

Read Pure Theory of Law in English

Hirarki Norma dan Proses Pembentukan Hukum

Deskripsi Kelsen mengenai proses hukum sebagai sebuah hirarki norma-norma, keberlakuan setiap norma (terlepas dari norma dasar) bersandar pada norma yang lebih tinggi, dan setiap level dalam hirarki yang mewakili pergerakan dari keumuman utuh menjadi individualisasi yang semakin meningkat, kadang kala disalahpahami bahwa interpretasi dan aplikasi aturan umum adalah sebuah karakter mekanik semata. Hal ini sangatlah jauh dari pandangan Kelsen. Sebaliknya, Kelsen menunjukkan bahwa, meskipun hukum memiliki keunikannya sendiri dalam mengatur hasil ciptaannya, norma yang lebih tinggi dapat menentukan ciptaan dan konten normal in hanya pada level tertentu. Sejauh terdapat diskresi atau pun pilihan terhadap aturan yang diaplikasikan, fungsi norma dalam menciptakan berkaitan dengan karakter politis. Hal ini tampak jelas dalam cara Mahkamah Agung Amerika Serikat menginterpretasikan Undang-Undang, namun ini sama saja dengan aplikasi hukum oleh pihak yang berwenang. Dan fungsinya tidak berhenti hanya pada tataran absah saja sebab hal ini masih berada dalam kerangka norma-norma.  
Kelsen tidak meniadakan nilai sosiologi hukum. Sosiologi hukum berdiri berdampingan dengan yurisprudensi normatif dan tak dapat saling menggantikan. Yurisprudensi normatif berkaitan dengan keabsahan dan sosiologi hukum berkaitan dengan keampuhan, namun keduanya saling terhubung, sebab sosiologi hukum mengandaikan konsep normatif hukum. Namun Kelsen menarik garis perbedaan antara peran ilmuwan hukum dengan pihak berwenang yang menciptakan hukum, misalnya hakim. Ilmuwan hukum hanya dapat mendeskripsikan namun tidak menegakkan, dan, oleh sebab itu, mereka tidak dapat melaksanakan hal-hal yang dapat dilakukan oleh pihak yang kedua. Ilmuwan hukum harus menerima segala keputusan sebagai sesuatu yang sah sebab hal tersebut berada di luar kuasanya untuk menyatakan apakah hal tersebut berada dalam kerangka norma umum yang sedang dipertanyakan. Dan meskipun mereka dapat memberikan kemungkinan interpretasi mereka harus menyerahkan hal tersebut kepada pihak yang berwenang dalam menciptakan hukum untuk mengambil keputusan, sebab mencoba mempengaruhi wewenang ini berarti melaksanakan fungsi politis dan bukannya fungsi hukum. Kelihatannya dalam hal ini tindak penolakan ikut terlibat dalam porsi ilmu hukum yang tampaknya sulit merelakan, dan nampaknya menyebabkan para penasihat hukum berdebat mengenai sebuah kasus sebagai potisi, daripada sebagai pengacara.

Back To Top