Read Pure Theory of Law in English
Norma dan Norma Dasar
Norma adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengatur
bagaimana seseorang berperilaku dan oleh karenanya hukum positif adalah tata
tertib normatif yang mengatur tindakan manusia dalam cara tertentu. Sebuah
norma adalah sebuah proposisi “harus”: norma tidak mengekspresikan apa yang,
atau apa yang harus, namun apa yang harus akan terjadi, dalam keadaan-keadaan
tertentu; keberadaannya hanya dapat diartikan dari keberlakuannya, dan hal ini
mengacu pada hubungannya dengan sistem dari norma-norma yang menjadi
bagian-bagiannya. Norma tidak dapat dibuktikan keberadaannya secara faktual,
namun norma semata-mata diturunkan dari norma lainnya, dan oleh sebab itu,
menjadi absah.
Namun jika sebuah norma hanya dapat diturunkan dari norma
lain, apakah ini berarti bahwa seseorang dapat meneruskan penurunan ini ad
infinitum? Secara teoritis, ya, namun, dalam praktiknya, sebab norma berkaitan
erat dengan tindakan manusia, maka haruslah ada sebuah norma mutlak yang
didalilkan sebagai dasar pijakan bagi norma-norma lainnya. Inilah yang menjadi
norma dasar. Sejauh yang dianut oleh sistem hukum norma dasar ini mesti
bersifat sebagai hukum agung, sebab ex hypothesi norma dasar ini tidak
diturunkan dari norma hukum yang lain. Namun Kelsen tidak semudah itu menuding
bahwa pilihan norma dasar ini bukanlah sesuatu yang arbitrer. Justru
sebaliknya, norma dasar ini harus dipilih oleh para ilmuwan hukum berdasar
prinsip keampuhan, yaitu bahwa aturan hukum secara keseluruhan mesti berpijak
pada asumsi bahwa pada kebanyakan kekuatan keampuhannya, orang-orang akan
bertindak sesuai dengan norma tersebut. Norma dasar bersifat non-positif dan
oleh karenanya bukanlah urusan ilmu hukum, namun norma dasar memang
sesungguhnyalah ada untuk memberi kesatuan terhadap sistem hukum dan dalam
menarik garis batas untuk norma-norma yang menjadi subjek ilmu hukum. Pilihan
akan norma dasar juga memiliki implikasi penting dalam menentukan relasi hukum
nasional Negara hingga hukum internasional. Jika norma dasar sesuai dengan
undang-undang setiap Negara, maka tidak akan ada tumpukan pluralistik dalam
sistem hukum mandiri. Sementara jika norma tersebut dipilih sebagai dasar hukum
internasional, maka akan tercipta sebuah tata dunia monistik, yang akan menjadi
dasar pijakan hukum nasional setiap Negara. Kelsen, meski demikian, tidak
menjabarkan secara jelas mengenai sejauh apa pilihan norma tersebut ditentukan
terlebih dahulu oleh prinsip kefektifan, meskipun fakta bahwa setiap Negara
tunduk untuk menganggap diri mereka sendiri terikat oleh hukum internasional
(tunduk terhadap konstruksi mereka sendiri mengenai apa yang seharusnya menjadi
aturan), mungkin saja terdengar seperti mendengungkan sistem monistik, tanpa
diragukan lagi sangat didukung oleh Kelsen sendiri, dalam prinsip-prinsip ini.
Kelsen, sebagai positivis filsosofis sejati, menolak segala
entitas metafisik, seperti Negara atau hak atau kewajiban. Oleh sebab itu,
imputasi sebuah tindakan terhadap Negara adalah sesuatu yang figuratif, yang,
dalam konteks hukumnya semata-mata mengacu pada norma-norma tata hukum. Namun
istilah “tatanan hukum” bermakna lebih luas daripada Negara, sebab Negara
hanyalah sebuah tata tertib yang dipusatkan dan diberi nama Negara, dan situasi
ini menafikan, misalnya, masyarakat primitif dan tata hukum internasional yang
berlaku. Sekali lagi hak dan kewajiban bukanlah sebuah entitas yang berdiri
sendiri, namun semata-mata ekspresi norma-norma hukum yang terkait dengan
tindakan konkrit seorang individu.