Kelsen seringkali digambarkan, seperti yang telah diterangkan di
edisi awal buku ini, sebagai seorang positivis. Dan jika, seperti yang
dikemukakan oleh Shiner, positivisme dan, yang disebutnya, anti-positivisme
bersifat lengkap terhadap kemungkinan-kemungkinan spekulasi mengenai kodrat
hukum, maka Kelsen harus dikategorikan sebagai seorang positivis. Namun
normativisme Kelsen secara konseptual berbeda dari tradisi empiris mengenai
positivisme hukum, yang dijunjung tinggi dalam periode pasca perang oleh Hart.
Kelsen menolak positivisme hukum sebab hal tersebut mencampuradukkan hukum
dengan moral. Oleh karenanya Kelsen menjabarkan baik himbauan terhadap
moralitas maupun terhadap fakta. Bagi Kelsen hukum terdiri dari norma-norma:
sebuah norma tidak dapat ditarik dari fakta-fakta, namun hanya dapat ditarik
dari norma yang lain. Hubungan antara norma-norma adalah sebuah “tuduhan,” dan
bukanlah “kausalitas.” Ilmu alam berkaitan erat dengan penjelasan asal muasal
dunia fisik, sementara ilmu normatif, seperti hukum atau pun etika, berkaitan
erat dengan sebuah tindakan yang wajib dilakukan, berdasarkan ketentuan
norma-norma. “Dalam kondisi tertentu, sebuah konsekuensi mesti terjadi. Ini
adalah bentuk ketentuan dari prinsip imputasi.” Oleh sebab tersebut, hukum alam
yang dulu pun ditolak, sama seperti Hume, dengan prinsip dasar bahwa
menciptakan karakter objektif mengenai apa yang harus menjadi normatif adalah
sebuah tindakan yang tidak logis dan tidak diperbolehkan.
Raz telah menunjukkan bahwa normativisme Kelsen dapat didukung tanpa
harus mengacu pada neo-Kantianisme dalam kaitannya dengan gagasan seperti
imputasi normatif. Menurut Raz, Kelsen telah mendahului “interpretasi
kognitivis terhadap semua wacana normatif.” Bagi Kelsen, proposisi normatif
(baik hukum atau pun moral atau lainnya) memperlihatkan “sebuah kepercayaan
terhadap keberadaan norma yang absah, dan sebuah norma dapat membentuk sebuah
nilai. Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini: jika masuknya hal-hal yang
normatif dalam proposisi dijelaskan dengan fakta bahwa hal tersebut menyatakan
keberadaan norma yang mengikat dengan kuasa nilai, maka proposisi hukum akan
nampak seperti sebuah pernyataan moral, dan, mengutip Raz, “the law dan its
existence dan content … seem to be essentially moral facts.” (“hukum dan
keberadaannya dan isinya … nampaknya pada intinya adalah sebuah fakta-fakta
moral.”) Bagaimana hal ini dapat disesuaikan dengan tesis “kemurnian” Kelsen?
Terdapat sebuah dilema di sini: jika proposisi hukum Kelsen memiliki hal-hal
normatif maka proposisi hukum tersebut menyatakan fakta-fakta moral, dan hal
ini menodai “kemurnian” tesisnya. Namun, jika tidak menyatakan fakta-fakta
moral, maka tidak ada hal-hal normatif yang dimasukkan. Seperti yang
dikedepankan oleh Paulson: “Ide bahwa proposisi hukum mungkin mengalami
kekurangan hal-hal normatif adalah sesuatu yang penuh dengan konsekuensi nun
jauh di depan mata, salah satunya adalah fakta bahwa ilmu hukum akan kehilangan
dasarnya dalam mengklaim status khusus sebagai ilmu normatif.” Dan teori Kelsen
akan “runtuh” dalam sebuah teori yang mendekati empiris-positivis.
Raz, seperti yang akan terlihat dalam kutipan darinya dalam bab ini,
menawarkan sebuah rekonstruksi dan sebuah celah melarikan diri bagi Kelsen. Dia
mendorong kita untuk membayangkan sebuah sosok “yang kepercayaan moralnya
identik dengan hukum.” Para ilmuwan hukum mempelajari hukum sebagai sebuah
sistem normatif namun hal ini tidak mengikat mereka terhadap normativitas
tersebut. Proposisi hukum yang dirumuskan oleh para ilmuwan hukum bersifat konsidional:
“Jika para ahli hukum benar, maka seseorang harus melakukan hal tersebut dan
seterusnya.” Atau, mengubah hal ini ke dalam bahasa yang akan digunakan oleh
Kelsen: “Jika norma dasarnya absah, maka seseorang harus melakukan hal tersebut
dan seterusnya.” Raz mengklaim cara ini untuk merekonstruksi ilmu hukum yang
memiliki kemurnian dan menjelaskan hukum sebagai sistem normatif.