Kamis, 18 April 2013

Teori Hukum Murni Hans Kelsen (2) Normativisme



NORMATIVISME

Kelsen seringkali digambarkan, seperti yang telah diterangkan di edisi awal buku ini, sebagai seorang positivis. Dan jika, seperti yang dikemukakan oleh Shiner, positivisme dan, yang disebutnya, anti-positivisme bersifat lengkap terhadap kemungkinan-kemungkinan spekulasi mengenai kodrat hukum, maka Kelsen harus dikategorikan sebagai seorang positivis. Namun normativisme Kelsen secara konseptual berbeda dari tradisi empiris mengenai positivisme hukum, yang dijunjung tinggi dalam periode pasca perang oleh Hart. Kelsen menolak positivisme hukum sebab hal tersebut mencampuradukkan hukum dengan moral. Oleh karenanya Kelsen menjabarkan baik himbauan terhadap moralitas maupun terhadap fakta. Bagi Kelsen hukum terdiri dari norma-norma: sebuah norma tidak dapat ditarik dari fakta-fakta, namun hanya dapat ditarik dari norma yang lain. Hubungan antara norma-norma adalah sebuah “tuduhan,” dan bukanlah “kausalitas.” Ilmu alam berkaitan erat dengan penjelasan asal muasal dunia fisik, sementara ilmu normatif, seperti hukum atau pun etika, berkaitan erat dengan sebuah tindakan yang wajib dilakukan, berdasarkan ketentuan norma-norma. “Dalam kondisi tertentu, sebuah konsekuensi mesti terjadi. Ini adalah bentuk ketentuan dari prinsip imputasi.” Oleh sebab tersebut, hukum alam yang dulu pun ditolak, sama seperti Hume, dengan prinsip dasar bahwa menciptakan karakter objektif mengenai apa yang harus menjadi normatif adalah sebuah tindakan yang tidak logis dan tidak diperbolehkan.
Raz telah menunjukkan bahwa normativisme Kelsen dapat didukung tanpa harus mengacu pada neo-Kantianisme dalam kaitannya dengan gagasan seperti imputasi normatif. Menurut Raz, Kelsen telah mendahului “interpretasi kognitivis terhadap semua wacana normatif.” Bagi Kelsen, proposisi normatif (baik hukum atau pun moral atau lainnya) memperlihatkan “sebuah kepercayaan terhadap keberadaan norma yang absah, dan sebuah norma dapat membentuk sebuah nilai. Terdapat sebuah permasalahan dalam hal ini: jika masuknya hal-hal yang normatif dalam proposisi dijelaskan dengan fakta bahwa hal tersebut menyatakan keberadaan norma yang mengikat dengan kuasa nilai, maka proposisi hukum akan nampak seperti sebuah pernyataan moral, dan, mengutip Raz, “the law dan its existence dan content … seem to be essentially moral facts.” (“hukum dan keberadaannya dan isinya … nampaknya pada intinya adalah sebuah fakta-fakta moral.”) Bagaimana hal ini dapat disesuaikan dengan tesis “kemurnian” Kelsen? Terdapat sebuah dilema di sini: jika proposisi hukum Kelsen memiliki hal-hal normatif maka proposisi hukum tersebut menyatakan fakta-fakta moral, dan hal ini menodai “kemurnian” tesisnya. Namun, jika tidak menyatakan fakta-fakta moral, maka tidak ada hal-hal normatif yang dimasukkan. Seperti yang dikedepankan oleh Paulson: “Ide bahwa proposisi hukum mungkin mengalami kekurangan hal-hal normatif adalah sesuatu yang penuh dengan konsekuensi nun jauh di depan mata, salah satunya adalah fakta bahwa ilmu hukum akan kehilangan dasarnya dalam mengklaim status khusus sebagai ilmu normatif.” Dan teori Kelsen akan “runtuh” dalam sebuah teori yang mendekati empiris-positivis.

Raz, seperti yang akan terlihat dalam kutipan darinya dalam bab ini, menawarkan sebuah rekonstruksi dan sebuah celah melarikan diri bagi Kelsen. Dia mendorong kita untuk membayangkan sebuah sosok “yang kepercayaan moralnya identik dengan hukum.” Para ilmuwan hukum mempelajari hukum sebagai sebuah sistem normatif namun hal ini tidak mengikat mereka terhadap normativitas tersebut. Proposisi hukum yang dirumuskan oleh para ilmuwan hukum bersifat konsidional: “Jika para ahli hukum benar, maka seseorang harus melakukan hal tersebut dan seterusnya.” Atau, mengubah hal ini ke dalam bahasa yang akan digunakan oleh Kelsen: “Jika norma dasarnya absah, maka seseorang harus melakukan hal tersebut dan seterusnya.” Raz mengklaim cara ini untuk merekonstruksi ilmu hukum yang memiliki kemurnian dan menjelaskan hukum sebagai sistem normatif.
Back To Top